Jumat, 05 November 2010

SAJAK PENYAIR PERSIA SYAMSUDIN MUHAMMAD HAFIZ EL SHIROZY

1
Pipi bersimbah mawar,
tudung molek bumi
Ah itu sudah cukup
bagiku! Bayang cemara
rindang
Yang menyusut dan
mengembang
Di tengah padang. Sudah
cukup itu bagiku!
Aku bukan pencinta
kemunafikan
Dari semua yang
dibanggakan bumi
Anggur secawan setinggi
langit kupuji
Dan itu sudah cukup
bagiku!
Bagi yang namanya
merbak sebab bijak
Mahligai dan kebun di
sorga ganjarannya
Bagi si pemabuk dan
penadah rahmat Tuhan
Beri saja menara anggur
tinggi menjulang
Lantas di atas babut
rumput di tepi sungai
Aku pun duduk. Tak
kupedulikan hidup
berlalu
Dan hari-hari remeh
diterbangkan udara
Nikmat karunia-Nya
sudah cukup bagiku!
Lihat semua emas di
pasar dunia
Lihat segenap air mata
yang disemburkannya
Bagi hati yang rindu itu
sudah cukup
Itu semua sudah cukup
bagiku!
Aku telah banyak
kehilangan
Namun banyak pula yang
kudapatkan
Kumiliki cinta,
kugenggam erat-erat
Apalagi yang bisa
kudapatkan?
Kekayaanku hanyalah
kebahagiaan
Dan rasa nikmat
bersahabat dengannya
Dengan bibir yang
merkah
Dan begitu berahi
mengecup bibirku
Kumohon jangan bawa
hatiku telanjang
Dari rumah hinanya
menuju sorga
Walau langit dan bumi
membuka gulungan
Rohku akan balik pulang
ke rumahku
Dan di pintu kismet,
Hafiz pun terbaring
Tiada keluh di bibir,
bagai air bening jiwanya
Sedendang lagu
terdengar, lantas sayup
Dan itu semua sudah
cukup bagiku
2
Musuh-musuhku telah
menyekapku lama
Dan menghukum aku
dengan kejinya
Tapi cintaku tak
berpaling meninggalkan
pintu
Sebab Tuhan mendengar
dan cermat menghitung
air mataku
Karena itu jangan
berduka, jika derita
datang
Dan tengah malam
hatimu karam olehnya
Ambil saja al-Qur`an,
lagu maha abadi
Dan baca, jangan
berduka!
3
Kemurungan dan
kegembiraan telah
datang
Bangga memamerkan
rasa persaudaraan
Tak beda milih yang satu
atau yang lain
Kelak kau akan disiksa
juga olehnya
Siapa bisa menyingkap
tabir rahasia ini?
Sorga saja membisu dan
bersama Tuhan
Menutup tirai ini seerat-
eratnya
Wahai pembual, jangan
banyak membual!
Walau hamba-hamba
Tuhan kehilangan jalan
Melalui derita akan
diajarinya dia kearifan
Segala ampunan dan
kasih sayang
Baginya kini kata-kata
kosong belaka
Mari wahai cita-cita
yang pendek
Dan rapuh sendinya!
Mari tuang anggur!
Mari kita minum anggur
Tuhan, wahai mari!
Tulang belulang usia, kau
akan diterbangkan angin
pula!
Mari, mari! Jangan pada
dunia kau meneguh janji
Jangan kepada si tua
bangka ini menaburkan
cinta
Telah seribu kali dia
menjanda. Mari!
Jangan pada dunia ini
kau mencinta
Wahai elang yang
melayang tinggi
Jangan pada tikar
sembahyang kau terikat
Dan dalam zawiyah
tempat berzikir kau
terkurung!
Bukan di sini tempatmu,
terbang! Terbanglah
tinggi!
4
Tapi apa yang
kauharapkan dariku
Aku ini orang mabuk,
jangan harapkan dariku
Aku telah meneguk
anggur dari cawannya
Sejak hari Alastu, sejak
aku mengambil wuduk
Di telaga asyik masyuk
Lalu kutakbirkan empat
kali
Kolong langit atas segala
yang ada ini
Karena itu jika kau
inginkan
Rahasia ketentuan yang
menyebabkan aku
linglung dan mabuk
Hidangi aku gelas putih
cawan anggur cerlang
Hingga gunung menjadi
lebih ringan dari nyamuk
Wahai Saqi, pemuja
anggur
Biarlah mulutmu berbusa
penebus nyawamu
Di taman penglihatanku
kebunku tak
menumbuhkan alam
Yang lebih indah dari
duri di tengah bunga
Tidaklah tenteram hidup
di bawah kolong langit
ini
Tanpa Tuhan, tanpa
anggur-Nya
Bagai sekuntum
kembang layu terkulai
Disapu angin derita
Tuhan, Hafiz rindu
kepada-Mu
Lebih dari nabi Sulaiman
Hafiz rindu pada-Mu
walau tangannya
Tak mendapat apa-apa
kecuali angin
Hafiz rindu kepada-Mu
5
Tidur dalam matamu,
bagai kembang badam
Bersinar-sinar – Jatuh
pun tak sia-sia!
Dan tidak sia-sia kilatan
lembut
Rambutmu yang basah --
Tidak sia-sia!
Sebelum madu susu di
bibirmu kering
Ya kukatakan, "Bibir
tempat garam pelipur
lara
Berada, yang manisnya
bercampur kata ejekan"
Ya, dan itu semua tidak
sia-sia
Mulutmu adalah sumber
air hayat mengalir
Di bawahnya sumur yang
dalam berceruk-ceruk
Dan ajal yang tak begitu
jauh dari hidup
Pencintamu tahu dan
tahu tidaklah sia-sia
Tuhan mengirim hari-hari
penuh berkah kepadamu
Lihat, bukan demi dirinya
semata hamba-Mu
berdoa
Pemanah meletakkan
anak panah Cinta di
busur lengkung
Ya, aku pun tahu tak ada
panah yang sia-sia
Apa kau ini terganggu
oleh kesedihan dan duka
Disebabkan beban berat
kaupikul di pundak?
Tangis dan airmatamu o
Hati yang berduka
Tidak sia-sia, sungguh
semua itu tidak sia-sia!
Semalam angin bertiup
dari rumahnya
Dan bertamasya
menyusur jalanan di
taman
O Mawar, kain baju di
dadamu telah koyak
Tercabik dua -- namun
itu tak sia-sia
Dan Hafiz! Walau hati
dalam dirimu mati
Keperihan cinta selalu
kausembuhan
Dari pandangan mata
liar. Tak sia-sia
airmatamu
Tak sia-sia kerling
matamu, tak sia-sia!
(Terjemahan Abdul Hadi
W. M.)

CERPEN CAKNUN : GUNUNG JANGAN PULA MELETUS

Gunung Jangan Pula
Meletus Khusus untuk
bencana Aceh, saya
terpaksa menemui Kiai
Sudrun. Apakah kata
mampu mengucapkan
kedahsyatannya? Apakah
sastra mampu
menuturkan kedalaman
dukanya? Apakah ilmu
sanggup menemukan dan
menghitung nilai-ilai
kandungannya? Wajah
Sudrun yang buruk
dengan air liur yang
selalu mengalir pelan
dari salah satu sudut
bibirnya hampir
membuatku marah.
Karena tak bisa
kubedakan apakah ia
sedang berduka atau
tidak. Sebab, barang
siapa tidak berduka oleh
ngerinya bencana itu dan
oleh kesengsaraan para
korban yang jiwanya
luluh lantak terkeping-
keping, akan kubunuh.
“ Jakarta jauh lebih
pantas mendapat
bencana itu dibanding
Aceh!, ” aku menyerbu.
“Kamu juga tak kalah
pantas memperoleh
kehancuran, ” Sudrun
menyambut dengan
kata- kata yang, seperti
biasa, menyakitkan hati.
“ Jadi, kenapa Aceh,
bukan aku dan Jakarta?”
“Karena kalian berjodoh
dengan kebusukan dunia,
sedang rakyat Aceh
dinikahkan dengan
surga. ” “Orang Aceh-lah
yang selama bertahun-
tahun terakhir amat dan
paling menderita
dibanding kita senegara,
kenapa masih
ditenggelamkan ke
kubangan kesengsaraan
sedalam itu ?”
“Penderitaan adalah
setoran termahal dari
manusia kepada
Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh
ditinggikan, sementara
kalian ditinggalkan
untuk terus menjalani
kerendahan. ” “Termasuk
Kiai….” Cuh! Ludahnya
melompat menciprati
mukaku. Sudah biasa
begini. Sejak dahulu kala.
Kuusap dengan
kesabaran. “Kalau itu
hukuman, apa salah
mereka? Kalau itu
peringatan, kenapa tidak
kepada gerombolan
maling dan koruptor di
Jakarta? Kalau itu ujian,
apa Tuhan masih kurang
kenyang melihat
kebingungan dan
ketakutan rakyat Aceh
selama ini, di tengah
perang politik dan
militer tak
berkesudahan?” Sudrun
tertawa terkekeh-kekeh.
Tidak kumengerti apa
yang lucu dari kata-
kataku. Badannya
terguncang-guncang.
“ Kamu mempersoalkan
Tuhan? Mempertanyakan
tindakan Tuhan?
Mempersalahkan
ketidakadilan Tuhan ?”
katanya. Aku menjawab
tegas, “Ya.” “Kalau
Tuhan diam saja
bagaimana ?” “Akan
terus kupertanyakan.
Dan aku tahu seluruh
bangsa Indonesia akan
terus mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?” “Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!” “Kamu yang gila.
Kurang waras akalmu.
Lebih baik kamu
mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak
mengetahui akan ada
gempa di Aceh. Kamu
bahkan tidak tahu apa
yang akan kamu katakan
sendiri lima menit
mendatang. Kamu juga
tidak tahu berapa jumlah
bulu ketiakmu. Kamu
pengecut. Untuk apa
mempertanyakan
tindakan Tuhan. Kenapa
kamu tidak melawanNya.
Kenapa kamu
memberontak secara
tegas kepada Tuhan.
Kami menyingkir dari
bumiNya, pindah dari
alam semestaNya,
kemudian kamu tabuh
genderang perang
menantangNya!” “”Aku
ini, Kiai!” teriakku,
“datang kemari, untuk
merundingkan hal- hal
yang bisa
menghindarkanku dari
tindakan menuduh Tuhan
adalah diktator dan
otoriter ….” Sudrun
malah melompat-
lompat. Yang tertawa
sekarang seluruh
tubuhnya. Bibirnya
melebar-lebar ke kiri-
kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya,
“karena ingin
menghindar dari
kewajiban. ” “Kewajiban
apa?” “Kewajiban ilmiah
untuk mengakui bahwa
Tuhan itu diktator dan
otoriter. Kewajiban
untuk mengakuinya,
menemukan logikanya,
lalu belajar
menerimanya, dan
akhirnya memperoleh
kenikmatan
mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya
yang ada, yang berhak
bersikap diktator dan
otoriter, sebagaimana
pelukis berhak
menyayang lukisannya
atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke
tempat sampah.Tuhan
tidak berkewajiban apa-
apa karena ia tidak
berutang kepada siapa-
siapa, dan
keberadaanNya tidak
atas saham dan andil
siapa pun. Tuhan tidak
terikat oleh baik buruk
karena justru Dialah
yang menciptakan baik
buruk. Tuhan tidak harus
patuh kepada benar atau
salah, karena benar dan
salah yang harus taat
kepadaNya. Ainun, Ainun,
apa yang kamu lakukan
ini? Sini, sini …”-ia meraih
lengan saya dan
menyeret ke
tembok- ”Kupinjamkan
dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?,” aku
tidak paham. “Pakailah
sesukamu.” “Emang
untuk apa?” “Misalnya
untuk membenturkan
kepalamu ….” “Sinting!”
“Membenturkan kepala
ke tembok adalah tahap
awal pembelajaran yang
terbaik untuk cara
berpikir yang kau
tempuh. ” Ia membawaku
duduk kembali. “Atau
kamu saja yang jadi
Tuhan, dan kamu atur
nasib terbaik untuk
manusia menurut
pertimbanganmu?, ” ia
pegang bagian atas
bajuku. “Kamu tahu
Muhammad?”, ia
meneruskan, “Tahu?
Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
alihi wasallah, tahu? Ia
manusia mutiara yang
memilih hidup sebagai
orang jelata. Tidak
pernah makan kenyang
lebih dari tiga hari,
karena sesudah hari
kedua ia tak punya
makanan lagi. Ia
menjahit bajunya sendiri
dan menambal sandalnya
sendiri. Panjang
rumahnya 4,80 cm, lebar
4,62 cm. Ia manusia yang
paling dicintai Tuhan dan
paling mencintai Tuhan,
tetapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan
melemparinya dengan
batu yang membuat
jidatnya berdarah. Ia
bahkan dibiarkan oleh
Tuhan sakit sangat panas
badan oleh racun Zaenab
wanita Yahudi. Cucunya
yang pertama diizinkan
Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan
cucunya yang kedua
dibiarkan oleh Tuhan
dipenggal kepalanya
kemudian kepala itu
diseret dengan kuda
sejauh ratusan kilometer
sehingga ada dua
kuburannya. Muhammad
dijamin surganya, tetapi
ia selalu takut kepada
Tuhan sehingga
menangis di setiap
sujudnya. Sedangkan
kalian yang
pekerjaannya mencuri,
kelakuannya penuh
kerendahan budaya,
yang politik kalian busuk,
perhatian kalian kepada
Tuhan setengah-
setengah, menginginkan
nasib lebih enak
dibanding Muhammad?
Dan kalau kalian ditimpa
bencana, Tuhan yang
kalian salahkan ?”
Tangan Sudrun
mendorong badan saya
keras-keras sehingga
saya jatuh ke belakang.
“ Kiai,” kata saya agak
pelan, “Aku ingin
mempertahankan
keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan
adalah sifat Rahman dan
Rahim ….” “Sangat benar
demikian,” jawabnya,
“Apa yang membuatmu
tidak yakin?” “Ya Aceh
itu, Kiai, Aceh…. Untuk
Aceh-lah aku bersedia
Kiai ludahi. ” “Aku tidak
meludahimu. Yang
terjadi bukan aku
meludahimu. Yang
terjadi adalah bahwa
kamu pantas diludahi.”
“Terserah Kiai, asal
Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas,
Rahim cinta mendalam.
Rahman cinta sosial,
Rahim cinta lubuk hati.
Kenapa ?” “Aceh, Kiai,
Aceh.” “Rahman menjilat
Aceh dari lautan, Rahim
mengisap Aceh dari
bawah bumi. Manusia
yang mulia dan paling
beruntung adalah yang
segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia. Ribuan
malaikat mengangkut
mereka langsung ke
surga dengan rumah-
rumah cahaya yang telah
tersedia. Kepada
saudara- saudara mereka
yang ditinggalkan, porak
poranda kampung dan
kota mereka adalah
medan pendadaran total
bagi kebesaran
kepribadian manusia
Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka
untuk bangkit dan
menemukan kembali
kependekaran mereka.
Kejadian tersebut dibikin
sedahsyat itu sehingga
mengatasi segala tema
Aceh Indonesia yang
menyengsarakan mereka
selama ini. Rakyat Aceh
dan Indonesia kini
terbebas dari blok-blok
psikologis yang
memenjarakan mereka
selama ini, karena air
mata dan duka mereka
menyatu, sehingga akan
lahir keputusan dan
perubahan sejarah yang
melapangkan kedua
pihak ”. “Tetapi terlalu
mengerikan, Kiai, dan
kesengsaraan para
korban sukar
dibayangkan akan
mampu
tertanggungkan. ” “Dunia
bukan tempat utama
pementasan manusia.
Kalau bagimu orang yang
tidak mati adalah
selamat sehingga yang
mati kamu sebut tidak
selamat, buang dulu
Tuhan dan akhirat dari
konsep nilai hidupmu.
Kalau bagimu rumah
tidak ambruk, harta
tidak sirna, dan nyawa
tidak melayang, itulah
kebaikan; sementara
yang sebaliknya adalah
keburukan-berhentilah
memprotes Tuhan,
karena toh Tuhan tak
berlaku di dalam skala
berpikirmu, karena
bagimu kehidupan
berhenti ketika kamu
mati. ” “Tetapi kenapa
Tuhan mengambil
hamba-hambaNya yang
tak berdosa, sementara
membiarkan para
penjahat negara dan
pencoleng masyarakat
hidup nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak
puas kalau keberadaan
para pencoleng itu di
neraka kelak tidak
terlalu lama. Jadi
dibiarkan dulu mereka
memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah
cukup banyak tokoh
negerimu yang baik yang
justru Tuhan bersegera
mengambilnya,
sementara yang kamu
doakan agar cepat mati
karena luar biasa
jahatnya kepada
rakyatnya malah panjang
umurnya ?” “Gusti Gung
Binathoro!,” saya
mengeluh, “Kami semua
dan saya sendiri, Kiai,
tidaklah memiliki
kecanggihan dan
ketajaman berpikir
setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku
Tuhan.” “Kamu jangan
tiba-tiba seperti tidak
pernah tahu bagaimana
pola perilaku Tuhan.
Kalau hati manusia
berpenyakit, dan ia
membiarkan terus
penyakit itu sehingga
politiknya memuakkan,
ekonominya nggraras
dan kebudayaannya
penuh penghinaan atas
martabat diri manusia
sendiri- maka Tuhan
justru menambahi
penyakit itu, sambil
menunggu mereka
dengan bencana yang
sejati yang jauh lebih
dahsyat. Yang di Aceh
bukan bencana pada
pandangan Tuhan. Itu
adalah pemuliaan bagi
mereka yang nyawanya
diambil malaikat, serta
pencerahan dan
pembangkitan bagi yang
masih dibiarkan hidup. ”
“Bagi kami yang awam,
semua itu tetap tampak
sebagai
ketidakadilan ….”
“Alangkah dungunya
kamu!” Sudrun
membentak, “Sedangkan
ayam menjadi riang
hatinya dan bersyukur
jika ia disembelih untuk
kenikmatan manusia
meski ayam tidak
memiliki kesadaran
untuk mengetahui, ia
sedang riang dan
bersyukur. ” “Jadi, para
koruptor dan penindas
rakyat tetap aman
sejahtera hidupnya ?”
“Sampai siang ini, ya.
Sebenarnya Tuhan masih
sayang kepada mereka
sehingga selama satu
dua bulan terakhir ini
diberi peringatan
berturut-turut, baik
berupa bencana alam,
teknologi dan
manusia,dengan
frekuensi jauh lebih
tinggi dibanding bulan-
bulan sebelumnya.
Tetapi, karena itu semua
tidak menjadi pelajaran,
mungkin itu menjadikan
Tuhan mengambil
keputusan untuk
memberi peringatan
dalam bentuk lebih
dahsyat. Kalau
kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan jiwa
Jakarta untuk mulai
belajar menundukkan
muka, ada
kemungkinan….” “Jangan
pula gunung akan
meletus, Kiai !” aku
memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan
kalimat Sudrun. “Bilang
sendiri sana sama
gunung !” ujar Sudrun
sambil berdiri dan
ngeloyor meninggalkan
saya. “Kiai!” aku
meloncat mendekatinya,
“ Tolong katakan kepada
Tuhan agar beristirahat
sebentar dari
menakdirkan bencana-
bencana alam ….”
“Kenapa kau sebut
bencana alam? Kalau
yang kau salahkan
adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah
bencana Tuhan ?” Sudrun
benar-benar tak bisa
kutahan. Lari
menghilang. Sumber:
Gunung Jangan Pula
Meletus oleh Emha Ainun
Nadjib