Jumat, 05 November 2010

SAJAK PENYAIR PERSIA SYAMSUDIN MUHAMMAD HAFIZ EL SHIROZY

1
Pipi bersimbah mawar,
tudung molek bumi
Ah itu sudah cukup
bagiku! Bayang cemara
rindang
Yang menyusut dan
mengembang
Di tengah padang. Sudah
cukup itu bagiku!
Aku bukan pencinta
kemunafikan
Dari semua yang
dibanggakan bumi
Anggur secawan setinggi
langit kupuji
Dan itu sudah cukup
bagiku!
Bagi yang namanya
merbak sebab bijak
Mahligai dan kebun di
sorga ganjarannya
Bagi si pemabuk dan
penadah rahmat Tuhan
Beri saja menara anggur
tinggi menjulang
Lantas di atas babut
rumput di tepi sungai
Aku pun duduk. Tak
kupedulikan hidup
berlalu
Dan hari-hari remeh
diterbangkan udara
Nikmat karunia-Nya
sudah cukup bagiku!
Lihat semua emas di
pasar dunia
Lihat segenap air mata
yang disemburkannya
Bagi hati yang rindu itu
sudah cukup
Itu semua sudah cukup
bagiku!
Aku telah banyak
kehilangan
Namun banyak pula yang
kudapatkan
Kumiliki cinta,
kugenggam erat-erat
Apalagi yang bisa
kudapatkan?
Kekayaanku hanyalah
kebahagiaan
Dan rasa nikmat
bersahabat dengannya
Dengan bibir yang
merkah
Dan begitu berahi
mengecup bibirku
Kumohon jangan bawa
hatiku telanjang
Dari rumah hinanya
menuju sorga
Walau langit dan bumi
membuka gulungan
Rohku akan balik pulang
ke rumahku
Dan di pintu kismet,
Hafiz pun terbaring
Tiada keluh di bibir,
bagai air bening jiwanya
Sedendang lagu
terdengar, lantas sayup
Dan itu semua sudah
cukup bagiku
2
Musuh-musuhku telah
menyekapku lama
Dan menghukum aku
dengan kejinya
Tapi cintaku tak
berpaling meninggalkan
pintu
Sebab Tuhan mendengar
dan cermat menghitung
air mataku
Karena itu jangan
berduka, jika derita
datang
Dan tengah malam
hatimu karam olehnya
Ambil saja al-Qur`an,
lagu maha abadi
Dan baca, jangan
berduka!
3
Kemurungan dan
kegembiraan telah
datang
Bangga memamerkan
rasa persaudaraan
Tak beda milih yang satu
atau yang lain
Kelak kau akan disiksa
juga olehnya
Siapa bisa menyingkap
tabir rahasia ini?
Sorga saja membisu dan
bersama Tuhan
Menutup tirai ini seerat-
eratnya
Wahai pembual, jangan
banyak membual!
Walau hamba-hamba
Tuhan kehilangan jalan
Melalui derita akan
diajarinya dia kearifan
Segala ampunan dan
kasih sayang
Baginya kini kata-kata
kosong belaka
Mari wahai cita-cita
yang pendek
Dan rapuh sendinya!
Mari tuang anggur!
Mari kita minum anggur
Tuhan, wahai mari!
Tulang belulang usia, kau
akan diterbangkan angin
pula!
Mari, mari! Jangan pada
dunia kau meneguh janji
Jangan kepada si tua
bangka ini menaburkan
cinta
Telah seribu kali dia
menjanda. Mari!
Jangan pada dunia ini
kau mencinta
Wahai elang yang
melayang tinggi
Jangan pada tikar
sembahyang kau terikat
Dan dalam zawiyah
tempat berzikir kau
terkurung!
Bukan di sini tempatmu,
terbang! Terbanglah
tinggi!
4
Tapi apa yang
kauharapkan dariku
Aku ini orang mabuk,
jangan harapkan dariku
Aku telah meneguk
anggur dari cawannya
Sejak hari Alastu, sejak
aku mengambil wuduk
Di telaga asyik masyuk
Lalu kutakbirkan empat
kali
Kolong langit atas segala
yang ada ini
Karena itu jika kau
inginkan
Rahasia ketentuan yang
menyebabkan aku
linglung dan mabuk
Hidangi aku gelas putih
cawan anggur cerlang
Hingga gunung menjadi
lebih ringan dari nyamuk
Wahai Saqi, pemuja
anggur
Biarlah mulutmu berbusa
penebus nyawamu
Di taman penglihatanku
kebunku tak
menumbuhkan alam
Yang lebih indah dari
duri di tengah bunga
Tidaklah tenteram hidup
di bawah kolong langit
ini
Tanpa Tuhan, tanpa
anggur-Nya
Bagai sekuntum
kembang layu terkulai
Disapu angin derita
Tuhan, Hafiz rindu
kepada-Mu
Lebih dari nabi Sulaiman
Hafiz rindu pada-Mu
walau tangannya
Tak mendapat apa-apa
kecuali angin
Hafiz rindu kepada-Mu
5
Tidur dalam matamu,
bagai kembang badam
Bersinar-sinar – Jatuh
pun tak sia-sia!
Dan tidak sia-sia kilatan
lembut
Rambutmu yang basah --
Tidak sia-sia!
Sebelum madu susu di
bibirmu kering
Ya kukatakan, "Bibir
tempat garam pelipur
lara
Berada, yang manisnya
bercampur kata ejekan"
Ya, dan itu semua tidak
sia-sia
Mulutmu adalah sumber
air hayat mengalir
Di bawahnya sumur yang
dalam berceruk-ceruk
Dan ajal yang tak begitu
jauh dari hidup
Pencintamu tahu dan
tahu tidaklah sia-sia
Tuhan mengirim hari-hari
penuh berkah kepadamu
Lihat, bukan demi dirinya
semata hamba-Mu
berdoa
Pemanah meletakkan
anak panah Cinta di
busur lengkung
Ya, aku pun tahu tak ada
panah yang sia-sia
Apa kau ini terganggu
oleh kesedihan dan duka
Disebabkan beban berat
kaupikul di pundak?
Tangis dan airmatamu o
Hati yang berduka
Tidak sia-sia, sungguh
semua itu tidak sia-sia!
Semalam angin bertiup
dari rumahnya
Dan bertamasya
menyusur jalanan di
taman
O Mawar, kain baju di
dadamu telah koyak
Tercabik dua -- namun
itu tak sia-sia
Dan Hafiz! Walau hati
dalam dirimu mati
Keperihan cinta selalu
kausembuhan
Dari pandangan mata
liar. Tak sia-sia
airmatamu
Tak sia-sia kerling
matamu, tak sia-sia!
(Terjemahan Abdul Hadi
W. M.)

CERPEN CAKNUN : GUNUNG JANGAN PULA MELETUS

Gunung Jangan Pula
Meletus Khusus untuk
bencana Aceh, saya
terpaksa menemui Kiai
Sudrun. Apakah kata
mampu mengucapkan
kedahsyatannya? Apakah
sastra mampu
menuturkan kedalaman
dukanya? Apakah ilmu
sanggup menemukan dan
menghitung nilai-ilai
kandungannya? Wajah
Sudrun yang buruk
dengan air liur yang
selalu mengalir pelan
dari salah satu sudut
bibirnya hampir
membuatku marah.
Karena tak bisa
kubedakan apakah ia
sedang berduka atau
tidak. Sebab, barang
siapa tidak berduka oleh
ngerinya bencana itu dan
oleh kesengsaraan para
korban yang jiwanya
luluh lantak terkeping-
keping, akan kubunuh.
“ Jakarta jauh lebih
pantas mendapat
bencana itu dibanding
Aceh!, ” aku menyerbu.
“Kamu juga tak kalah
pantas memperoleh
kehancuran, ” Sudrun
menyambut dengan
kata- kata yang, seperti
biasa, menyakitkan hati.
“ Jadi, kenapa Aceh,
bukan aku dan Jakarta?”
“Karena kalian berjodoh
dengan kebusukan dunia,
sedang rakyat Aceh
dinikahkan dengan
surga. ” “Orang Aceh-lah
yang selama bertahun-
tahun terakhir amat dan
paling menderita
dibanding kita senegara,
kenapa masih
ditenggelamkan ke
kubangan kesengsaraan
sedalam itu ?”
“Penderitaan adalah
setoran termahal dari
manusia kepada
Tuhannya sehingga
derajat orang Aceh
ditinggikan, sementara
kalian ditinggalkan
untuk terus menjalani
kerendahan. ” “Termasuk
Kiai….” Cuh! Ludahnya
melompat menciprati
mukaku. Sudah biasa
begini. Sejak dahulu kala.
Kuusap dengan
kesabaran. “Kalau itu
hukuman, apa salah
mereka? Kalau itu
peringatan, kenapa tidak
kepada gerombolan
maling dan koruptor di
Jakarta? Kalau itu ujian,
apa Tuhan masih kurang
kenyang melihat
kebingungan dan
ketakutan rakyat Aceh
selama ini, di tengah
perang politik dan
militer tak
berkesudahan?” Sudrun
tertawa terkekeh-kekeh.
Tidak kumengerti apa
yang lucu dari kata-
kataku. Badannya
terguncang-guncang.
“ Kamu mempersoalkan
Tuhan? Mempertanyakan
tindakan Tuhan?
Mempersalahkan
ketidakadilan Tuhan ?”
katanya. Aku menjawab
tegas, “Ya.” “Kalau
Tuhan diam saja
bagaimana ?” “Akan
terus kupertanyakan.
Dan aku tahu seluruh
bangsa Indonesia akan
terus mempertanyakan.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kapan pun!”
“Sampai mati?” “Ya!”
“Kapan kamu mati?”
“Gila!” “Kamu yang gila.
Kurang waras akalmu.
Lebih baik kamu
mempertanyakan kenapa
ilmumu sampai tidak
mengetahui akan ada
gempa di Aceh. Kamu
bahkan tidak tahu apa
yang akan kamu katakan
sendiri lima menit
mendatang. Kamu juga
tidak tahu berapa jumlah
bulu ketiakmu. Kamu
pengecut. Untuk apa
mempertanyakan
tindakan Tuhan. Kenapa
kamu tidak melawanNya.
Kenapa kamu
memberontak secara
tegas kepada Tuhan.
Kami menyingkir dari
bumiNya, pindah dari
alam semestaNya,
kemudian kamu tabuh
genderang perang
menantangNya!” “”Aku
ini, Kiai!” teriakku,
“datang kemari, untuk
merundingkan hal- hal
yang bisa
menghindarkanku dari
tindakan menuduh Tuhan
adalah diktator dan
otoriter ….” Sudrun
malah melompat-
lompat. Yang tertawa
sekarang seluruh
tubuhnya. Bibirnya
melebar-lebar ke kiri-
kanan mengejekku.
“Kamu jahat,” katanya,
“karena ingin
menghindar dari
kewajiban. ” “Kewajiban
apa?” “Kewajiban ilmiah
untuk mengakui bahwa
Tuhan itu diktator dan
otoriter. Kewajiban
untuk mengakuinya,
menemukan logikanya,
lalu belajar
menerimanya, dan
akhirnya memperoleh
kenikmatan
mengikhlaskannya.
Tuhan-lah satu-satunya
yang ada, yang berhak
bersikap diktator dan
otoriter, sebagaimana
pelukis berhak
menyayang lukisannya
atau merobek-robek dan
mencampakkannya ke
tempat sampah.Tuhan
tidak berkewajiban apa-
apa karena ia tidak
berutang kepada siapa-
siapa, dan
keberadaanNya tidak
atas saham dan andil
siapa pun. Tuhan tidak
terikat oleh baik buruk
karena justru Dialah
yang menciptakan baik
buruk. Tuhan tidak harus
patuh kepada benar atau
salah, karena benar dan
salah yang harus taat
kepadaNya. Ainun, Ainun,
apa yang kamu lakukan
ini? Sini, sini …”-ia meraih
lengan saya dan
menyeret ke
tembok- ”Kupinjamkan
dinding ini kepadamu….”
“Apa maksud Kiai?,” aku
tidak paham. “Pakailah
sesukamu.” “Emang
untuk apa?” “Misalnya
untuk membenturkan
kepalamu ….” “Sinting!”
“Membenturkan kepala
ke tembok adalah tahap
awal pembelajaran yang
terbaik untuk cara
berpikir yang kau
tempuh. ” Ia membawaku
duduk kembali. “Atau
kamu saja yang jadi
Tuhan, dan kamu atur
nasib terbaik untuk
manusia menurut
pertimbanganmu?, ” ia
pegang bagian atas
bajuku. “Kamu tahu
Muhammad?”, ia
meneruskan, “Tahu?
Muhammad Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa
alihi wasallah, tahu? Ia
manusia mutiara yang
memilih hidup sebagai
orang jelata. Tidak
pernah makan kenyang
lebih dari tiga hari,
karena sesudah hari
kedua ia tak punya
makanan lagi. Ia
menjahit bajunya sendiri
dan menambal sandalnya
sendiri. Panjang
rumahnya 4,80 cm, lebar
4,62 cm. Ia manusia yang
paling dicintai Tuhan dan
paling mencintai Tuhan,
tetapi oleh Tuhan orang
kampung Thaif diizinkan
melemparinya dengan
batu yang membuat
jidatnya berdarah. Ia
bahkan dibiarkan oleh
Tuhan sakit sangat panas
badan oleh racun Zaenab
wanita Yahudi. Cucunya
yang pertama diizinkan
Tuhan mati diracun
istrinya sendiri. Dan
cucunya yang kedua
dibiarkan oleh Tuhan
dipenggal kepalanya
kemudian kepala itu
diseret dengan kuda
sejauh ratusan kilometer
sehingga ada dua
kuburannya. Muhammad
dijamin surganya, tetapi
ia selalu takut kepada
Tuhan sehingga
menangis di setiap
sujudnya. Sedangkan
kalian yang
pekerjaannya mencuri,
kelakuannya penuh
kerendahan budaya,
yang politik kalian busuk,
perhatian kalian kepada
Tuhan setengah-
setengah, menginginkan
nasib lebih enak
dibanding Muhammad?
Dan kalau kalian ditimpa
bencana, Tuhan yang
kalian salahkan ?”
Tangan Sudrun
mendorong badan saya
keras-keras sehingga
saya jatuh ke belakang.
“ Kiai,” kata saya agak
pelan, “Aku ingin
mempertahankan
keyakinan bahwa icon
utama eksistensi Tuhan
adalah sifat Rahman dan
Rahim ….” “Sangat benar
demikian,” jawabnya,
“Apa yang membuatmu
tidak yakin?” “Ya Aceh
itu, Kiai, Aceh…. Untuk
Aceh-lah aku bersedia
Kiai ludahi. ” “Aku tidak
meludahimu. Yang
terjadi bukan aku
meludahimu. Yang
terjadi adalah bahwa
kamu pantas diludahi.”
“Terserah Kiai, asal
Rahman Rahim itu….”
“Rahman cinta meluas,
Rahim cinta mendalam.
Rahman cinta sosial,
Rahim cinta lubuk hati.
Kenapa ?” “Aceh, Kiai,
Aceh.” “Rahman menjilat
Aceh dari lautan, Rahim
mengisap Aceh dari
bawah bumi. Manusia
yang mulia dan paling
beruntung adalah yang
segera dipisahkan oleh
Tuhan dari dunia. Ribuan
malaikat mengangkut
mereka langsung ke
surga dengan rumah-
rumah cahaya yang telah
tersedia. Kepada
saudara- saudara mereka
yang ditinggalkan, porak
poranda kampung dan
kota mereka adalah
medan pendadaran total
bagi kebesaran
kepribadian manusia
Aceh, karena sesudah ini
Tuhan menolong mereka
untuk bangkit dan
menemukan kembali
kependekaran mereka.
Kejadian tersebut dibikin
sedahsyat itu sehingga
mengatasi segala tema
Aceh Indonesia yang
menyengsarakan mereka
selama ini. Rakyat Aceh
dan Indonesia kini
terbebas dari blok-blok
psikologis yang
memenjarakan mereka
selama ini, karena air
mata dan duka mereka
menyatu, sehingga akan
lahir keputusan dan
perubahan sejarah yang
melapangkan kedua
pihak ”. “Tetapi terlalu
mengerikan, Kiai, dan
kesengsaraan para
korban sukar
dibayangkan akan
mampu
tertanggungkan. ” “Dunia
bukan tempat utama
pementasan manusia.
Kalau bagimu orang yang
tidak mati adalah
selamat sehingga yang
mati kamu sebut tidak
selamat, buang dulu
Tuhan dan akhirat dari
konsep nilai hidupmu.
Kalau bagimu rumah
tidak ambruk, harta
tidak sirna, dan nyawa
tidak melayang, itulah
kebaikan; sementara
yang sebaliknya adalah
keburukan-berhentilah
memprotes Tuhan,
karena toh Tuhan tak
berlaku di dalam skala
berpikirmu, karena
bagimu kehidupan
berhenti ketika kamu
mati. ” “Tetapi kenapa
Tuhan mengambil
hamba-hambaNya yang
tak berdosa, sementara
membiarkan para
penjahat negara dan
pencoleng masyarakat
hidup nikmat sejahtera?”
“Mungkin Tuhan tidak
puas kalau keberadaan
para pencoleng itu di
neraka kelak tidak
terlalu lama. Jadi
dibiarkan dulu mereka
memperbanyak dosa dan
kebodohannya. Bukankah
cukup banyak tokoh
negerimu yang baik yang
justru Tuhan bersegera
mengambilnya,
sementara yang kamu
doakan agar cepat mati
karena luar biasa
jahatnya kepada
rakyatnya malah panjang
umurnya ?” “Gusti Gung
Binathoro!,” saya
mengeluh, “Kami semua
dan saya sendiri, Kiai,
tidaklah memiliki
kecanggihan dan
ketajaman berpikir
setakaran dengan yang
disuguhkan oleh perilaku
Tuhan.” “Kamu jangan
tiba-tiba seperti tidak
pernah tahu bagaimana
pola perilaku Tuhan.
Kalau hati manusia
berpenyakit, dan ia
membiarkan terus
penyakit itu sehingga
politiknya memuakkan,
ekonominya nggraras
dan kebudayaannya
penuh penghinaan atas
martabat diri manusia
sendiri- maka Tuhan
justru menambahi
penyakit itu, sambil
menunggu mereka
dengan bencana yang
sejati yang jauh lebih
dahsyat. Yang di Aceh
bukan bencana pada
pandangan Tuhan. Itu
adalah pemuliaan bagi
mereka yang nyawanya
diambil malaikat, serta
pencerahan dan
pembangkitan bagi yang
masih dibiarkan hidup. ”
“Bagi kami yang awam,
semua itu tetap tampak
sebagai
ketidakadilan ….”
“Alangkah dungunya
kamu!” Sudrun
membentak, “Sedangkan
ayam menjadi riang
hatinya dan bersyukur
jika ia disembelih untuk
kenikmatan manusia
meski ayam tidak
memiliki kesadaran
untuk mengetahui, ia
sedang riang dan
bersyukur. ” “Jadi, para
koruptor dan penindas
rakyat tetap aman
sejahtera hidupnya ?”
“Sampai siang ini, ya.
Sebenarnya Tuhan masih
sayang kepada mereka
sehingga selama satu
dua bulan terakhir ini
diberi peringatan
berturut-turut, baik
berupa bencana alam,
teknologi dan
manusia,dengan
frekuensi jauh lebih
tinggi dibanding bulan-
bulan sebelumnya.
Tetapi, karena itu semua
tidak menjadi pelajaran,
mungkin itu menjadikan
Tuhan mengambil
keputusan untuk
memberi peringatan
dalam bentuk lebih
dahsyat. Kalau
kedahsyatan Aceh belum
mengguncangkan jiwa
Jakarta untuk mulai
belajar menundukkan
muka, ada
kemungkinan….” “Jangan
pula gunung akan
meletus, Kiai !” aku
memotong, karena ngeri
membayangkan lanjutan
kalimat Sudrun. “Bilang
sendiri sana sama
gunung !” ujar Sudrun
sambil berdiri dan
ngeloyor meninggalkan
saya. “Kiai!” aku
meloncat mendekatinya,
“ Tolong katakan kepada
Tuhan agar beristirahat
sebentar dari
menakdirkan bencana-
bencana alam ….”
“Kenapa kau sebut
bencana alam? Kalau
yang kau salahkan
adalah Tuhan, kenapa
tak kau pakai istilah
bencana Tuhan ?” Sudrun
benar-benar tak bisa
kutahan. Lari
menghilang. Sumber:
Gunung Jangan Pula
Meletus oleh Emha Ainun
Nadjib

Minggu, 27 Juni 2010

PUISI WS RENDRA IBU DI ATAS DEBU

IBU DI ATAS DEBU
WS RENDRA
perempuan tua yang termangu
teronggok di tanah berdebu
wajahnya bagai sepatu serdadu
ibu,ibu....
kenapa kau duduk di situ,
kenapa kamu termangu
apakah yang kamu tunggu?
jakarta menjadi lautan api
mayat menjadi arang
mayat hanyut di kali
apakah kamu tak tahu dimana
kini putramu?
perempuan tua yang termangu
sendiri
sepi
mengarungi waktu
kenapa kamu duduk disitu
ibu,ibu...
dimana rumahmu, dimana
rumahmu?
dimana rumah hukum
dimana rumah daulat rakyat
dimana ada gardu dada tentara
yang mau melindungi rakyat
tergusur
dimana pos polosi
yang mau membela para
petanidari pemerasan pejabat
desa
ibu,ibu...
kamu yang duduk termangu
terapung yang bagai tempurung
di samudra waktu
berapa lama sudah kamu duduk
disitu
berapa hari, minggu, bulan
berapa puluh tahun kamu
termangu di atas debu
apakah yang kamu harapkan
apakah yang kamu nantikan
apakah harapan pensiun buruh di
desa
apakah tunjangan tentara yang
hilang satu kakinya
siapa yang menculi laba dari
rotan di hutan
siapa yang menjarah kekayaan
lautan
ibu,ibu...
dari mana asalmu
apakah kamu dari Ambon, dari
Aceh, dari Kalimantan, dari Irian
nusantara, nusantara...
untaian zamrud yang tenggelam
di lumpur
pengantin yang koyak koyak
dandananny a
dicemaskan tangan asing
tergolek di kebon kelapa yang
kaya raya
indonesia, indonesia...
kau lihatlah ibu kita duduk disitu
teronggok di atas debu
tak jelas menatap apa
mata kosong tapi mengandun g
tuntutan
terbatuk batuk
suara batuk
seperti ketukan lemah di pintu
tapi mulutnya terus membisu
indonesia, indonesia...
dengarlah suara batuk itu
suara batuk ibu ibu
terbatuk batuk
suara batuk
dari sampah sejarah yang hanyut
di kali
10 Muharram 1340 H
Perguruan Islam Salafiyah Kajen
Pati

PUISI WS RENDRA IBU DI ATAS DEBU

IBU DI ATAS DEBU
WS RENDRA
perempuan tua yang termangu
teronggok di tanah berdebu
wajahnya bagai sepatu serdadu
ibu,ibu....
kenapa kau duduk di situ,
kenapa kamu termangu
apakah yang kamu tunggu?
jakarta menjadi lautan api
mayat menjadi arang
mayat hanyut di kali
apakah kamu tak tahu dimana
kini putramu?
perempuan tua yang termangu
sendiri
sepi
mengarungi waktu
kenapa kamu duduk disitu
ibu,ibu...
dimana rumahmu, dimana
rumahmu?
dimana rumah hukum
dimana rumah daulat rakyat
dimana ada gardu dada tentara
yang mau melindungi rakyat
tergusur
dimana pos polosi
yang mau membela para
petanidari pemerasan pejabat
desa
ibu,ibu...
kamu yang duduk termangu
terapung yang bagai tempurung
di samudra waktu
berapa lama sudah kamu duduk
disitu
berapa hari, minggu, bulan
berapa puluh tahun kamu
termangu di atas debu
apakah yang kamu harapkan
apakah yang kamu nantikan
apakah harapan pensiun buruh di
desa
apakah tunjangan tentara yang
hilang satu kakinya
siapa yang menculi laba dari
rotan di hutan
siapa yang menjarah kekayaan
lautan
ibu,ibu...
dari mana asalmu
apakah kamu dari Ambon, dari
Aceh, dari Kalimantan, dari Irian
nusantara, nusantara...
untaian zamrud yang tenggelam
di lumpur
pengantin yang koyak koyak
dandananny a
dicemaskan tangan asing
tergolek di kebon kelapa yang
kaya raya
indonesia, indonesia...
kau lihatlah ibu kita duduk disitu
teronggok di atas debu
tak jelas menatap apa
mata kosong tapi mengandun g
tuntutan
terbatuk batuk
suara batuk
seperti ketukan lemah di pintu
tapi mulutnya terus membisu
indonesia, indonesia...
dengarlah suara batuk itu
suara batuk ibu ibu
terbatuk batuk
suara batuk
dari sampah sejarah yang hanyut
di kali
10 Muharram 1340 H
Perguruan Islam Salafiyah Kajen
Pati

PUISI RENDRA ORANG ORANG MISKIN

ORANG ORANG MISKIN
Refleksi Haul KH Ahmad
Mutamakkin Rahmatullah Alaih 10
muharram 1430 H
Oleh : WS Rendra
orang orang miskin di jalan
yang tinggal di dalam selokan
yang kalah di dalam pergulatan
yang diledek oleh impian
janganlah mereka ditinggalkan
angin membawa bau baju
mereka
rambut mereka melekat di bulan
purnama
wanita wanita bunting berbaris
di cakrawala
mengandung buah jalan raya
orang orang miskin
orang orang berdosa
bayi gelap dalam batin
rumput dan lumut jalan raya
tak bisa kau abaikan
jika kau remehkan mereka
di jalan kamu akan diburu
bayangan tidurmu akan penuh
igauan
dan bahasa anak anakmu sukar
kau terka
jangan kau bilang negara ini kaya
karena orang orang miskin
berkembang di kota dan di desa
jangan kau bilang dirimu kaya
jika tetanggamu makan bangkai
kucingnya
lambang negara ini mustinya
terompah dan beladu
dan perlu diusulkan
agar tata negara mataram
jangan dikedepanka n raknya
orangborang miskin masuk ke
dalam tidur makanboran g orang
perempuan bunga raya
menyuapi putramu
tangan tangan kotor dari jalanmu
mereka tak bisa kamu hindarkan
jumlah mereka tak bisa kau mistik
dari nol
mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu
gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu
kuman kuman sipilis dan TBC dari
ganggang gelap
akan hinggap di gorden
presidenan dan buku progama
gedung kesenian
orang orang miskin berbaris di
sepanjang sejarah
bagai udara panas yang slalu ada
bagai gerimis yang slalu
membayang
orang orang miskin mengangkat
pisau pisau mereka
tertuju ke dada kita
atau ke dada mereka sendiri
oh... kenangkan
orang orang miskin juga berasal
dari kemah ibrahim
http://www.facebook.com/
kadal.anu
Nopember 2008 M
di Perguruan Islam Salafiyah
Kajen Pati

CERPEN GERHANA BULAN KARYA DOROTHEA ROSA HERLYANI

GERHANA BULAN
Oleh Dorothea Rosa
Herliany
Sekonyong-konyong ada
bidadari turun dari bumi
Bukan! Bukan bidadari!
Melainkan seorang perempuan
cantik. Ah, bukan…. Mungkin
artis dangdut, menyeberangi
pematang sawah. Mata Mak
terbelalak menyaksikannya.
Wanita yang menyeberang
sawah itu benar-benar cantik.
Tiba-tiba mulut Mak terbuka, dan
ia memekik gembira.
‘’Sartini pulang, Du!’’ kata
Mak keras-keras ketika melihat
wanita itu melenggang di
pematang sawah mendekat ke
gubuknya. Mak berhambur ke
rumah, mencari ank lelakinya
yang sudah hamper tiga tahun
tidak punya pekerjaanlain selain
bengong di sebuah senthong
khusus, dengan kedua kaki
terpasungg. “Istrimu pulang,
Le…”
Wanita yang disebut
Sartini itu sudah tersenyum
begitu melihat Mak kembali
menyambutnya.
“Kemana saja kamu,
Nduk?” Kata Mak sambil
menahan tangis kecilnya.
Sartini mulai menangkap
keharuan Mak.
Mak memeluk Sartini
begitu perempuan cantik itu
sampai di dekatnya. Aroma
parfumnya menyengat hidung
Mak.
Perempuan tua jadi makin
enggan melepas pelukannya.
Pikirannya melambung meraba-
raba bentuk kehidupan
menantunya itu kayak apa
sekarang.
Sartini melihat sekeliling.
Gubuk dengan dinding anyam
bambu itu. Tidak ada yang
berubah sama sekal. Cuma tubuh
Mak lebih kurus dan makin
penuh dengan kerut-kerut.
“Kamu benar-benar
membuat Mak cemas. Kemana
saja Nduk?”.
Sartini tetap menangis
terisak. Rambutnya dielus
tangan Emak. Wanita benar-bnar
membuat wanita itu terkagum
orang-orang yang dalam waktu
sekejap merubung. Mereka tidak
melihat Sartini yang
meninggalkan desa ini tiga
tahun lalu. Tetapi mereka seperti
melihat wanita cantik dan
“mewah” seperti yang biasa
menyanyikan lagu dangdut
kesukaan mereka di televisi
yang mereka tonton di balai
desa.
Tiba-tiba Gendon muncul.
Anak enam tahun itu
berhambur. “Yu Sartini datang
naik sedan, Mak. Mungkin Yu
Sartini sudah kaya-raya.” Wajah
anak itu berbinar-binar.
Sartini menoleh. Begitu
anak itu sampai didekatnya.
Tangan sartini mengelus anak
lugu itu.
“Ayolah masuk, Sar. Itu
Sardu menunggumu. Ia pasti
senang kamu pulang.”
Sartini hanya menurut.
Hatinya rusuh. Ia takkan
mengerti harus berkata apa. Ia
hanya punya niat untuk
singgah.
Tetapi, kenapa kenapa
mereka seperti baru ini bertemu
atau bertutur dan bertegur sapa
dengannya? Lalu apa artinya
surat-surat Sar yang dikirim
lewat Darsono setiap bulan
sekali, atau bahkan dua minggu
sekali? Dan untuk surat itu,
Sartini tak pernah lupa
menyelipkan satu dua lembar
lima puluhan ribu.
“Apa Mak selama ini
belum pernah menerima surat
dari Sar?” bisik Sartini.
Mak seperti terperanjat.
“boro-boro surat.kabar di mana
kamu berada saja tak pernah
mendengar,” kata Mak. Tak habis
keheranannya.
Sartini gemerutuk
giginya. Ia membayangkan
wajah Darsono. Laki-laki culas itu
memang kadal. Jadi,surat-surat
dari desa yang diketik, lalu
dengan tanda tangan yang
benar-benar tidak luwes dari
tanda tangan Kardu itu pasti
rekayasa Darsono? Kenapa aku
percaya saja dikibuli begitu?
Dikibuli bahwa kardu membalas
surat-suratku, lalu ia bercerita
telah tiba-tiba bias jadi pegawai
kecamatan dan memegang
mesin tik? Mengapa
kesetiaannya yang sudah
sedemikian mengental dalam
hidupnya, begitu mudah runtuh
oleh keadaan? Hati Sar gemuruh.
Ia lalu tahu, kecemburuan
membakar habis semua yang
pernah dipertahankannya.
“Kadal!” dan Sartini
akhirnya hanya bias
mengumpat.
Mak menuntunnya ke
sebuah senthong yang paling
terpencil di rumah yang cukup
luas meski terkesan singup itu.
“kamu perlu melihat suamimu.
Kamu perlu tahu betapa
suamimu sangat kehilangan
ketika benar-benar hilang tanpa
kabar,” bisik Mak.
Sartini ingin protes, tetapi
percuma saja. Darsono harus
disembelih, bisiknya, tak habis
geram.
Di sudut kamar sempit itu
sartini melihat laki-laki amat
kurus dan pucat termangu-
mangu dengan kaki terpasung.
Sesekali tersenyum tanpa sebab.
Ganjil!.
Hati perempuan itu
seolah meledak. Tetapi ia hanya
melihat bintang-bintang jutaan
jumlahnya. Lalu entah !.
Sebelum pingsan, ia
sempat mendengar bisik Mak.
“Mak terpaksa melakukannya.
Kalau tidak, kasihan sekali ia jadi
ejekan orang, Nduk. Jadi bulan-
bulanan anak-anak.
Jadi….”
Bahwa kenyataan selalu
lebih pahit dari apa yang
dibayangkan, Sartini akhirnya
percaya, ia menghadapi
kenyataan hidup yang sangat
pahit. Ia tahu Darsono laki-laki
culas dan rakus, tetapi bias saja
ia tertunduk di bawah
dengkulnya. Cerita bohong
tentang Kardu di desa yang
hanya bias ditempuh dua hari
dua malam dengan kendaraan
umum, beberapa hari dengan
surat, ternyata bias
menghancurkannya selama
bertahun-tahun. Sebab Sartini
benar-benar tak percaya bahwa
takkan pernah ada surat-
suratnya yang dititipkan
Darsono tak akakn sampai. Dan
Sartini juga begitu percaya
bahwa surat kardu selama ini
adalah surat palsu,hasil
ke”bulusan”an Darsono sebagai
pelempang jalan tercapainya
pamrih sendiri. Darsono, selama
ini, di mata Sartini benar-benar
bagai mata agung.
Tetapi apa boleh buat?
Sartini mau saja dibujuk
Darsono, lalu jadi suaminya
dengan kawin “lari”, meski ia
tahu betapa perkawinan model
itu hanya persyahan suatu
perzinahan, paling tidak
menurut anggapannya sendiri.
Tetapi apa boleh buat? Ia begitu
dendam pada Kardu yang
ternyata tak secuilpun bersalah.
Ia tea mengkhianatinya, atas
nama dendam. Dan untuk
“penebusan” itu,ia mengirim
surat-surat dan lembaran uang
untuk Mak, tanpa tahu apakah
angina menyampaikannya.
Kenyataan begitu pahit.
Kardu nggleleng (gila halus). Mak
dan adiknya, Gendon, hidup
dalam serba ketakmenentuan.
Sementara ia sendiri
terjerembab pada bentuk hidup
yang begitu cerdas diskenari
Darsono. Ahhh… Sartini merasa
akhirnyaseperti hidup dalam
kurungan burung.
Sekarang pun. Ketika
Darsono memaksa Sartini
mampir ke rumah bekas
suaminya, mula-mula Sartini
enggan, karena dendam. Tetapi
karena desakan Darsono untuk
menengok bagaimana bekas
suaminya sekarang, dan desakan
hati Sartini sendiri untuk
bertemu Mak mertuanya,
akhirnya Sartini mau. Meski
hanya singgah untuk beberapa
menit saja.....
Tetapi ia kini tahu.
Darsono agaknya ingin Sartini
melihat bekas suaminya gila.
Agar perempuan itu tak
memikirkan masa lalunya lagi.
Untuk itu, mungkin keinginan
Darsono, laki-laki culas itu bisa
menikmati kebersamaannya
dengan Sartini dengan lebih
tenang.
“Kadal!” berkali-kali
Sartini mengumpat pelan.
Sartini benar-benar tak
percaya melihat keadaan Kardu.
Mak melihat keanehan itu. Ia
juga tak mengerti betapa
bodohnya dirinya menghadapi
kenyataan ini.
“Kalau Kardu begitu, itu
berarti sangat berartinay dirimu,
Nduk. Bukan karena
kecantikanmu saja, bukan
karena yang tampak, bahkan
meski suamimu mungkin sangat
kecil di matamu. Dulu, ketika
ketika kalian akan menghadap
penghulu, tak ada siapapun
yang memaksa kalian. Itu semua
kemauan kalian sendiri. Juga,
ketika kamu juga sudah dewasa.
Tapi Mak bisa memaklumi
kenapa sampai terjadi seperti ini.
Mungkin itu di luar kehendak
kalian sendiri. Sekarang .
sekarang keadaan sudah
terlanjjjjjjur seperti ini. Mak tidak
memaksa kamu kembali pada
kardu. Itu tidak mungkini. Sebab
mana mungkin dalam keadaan
seperti itu. Kamu mesti
mendampinginya sebagai istri.
Apalagi keadaanmu sudah
seperti ini. Seperti langit dan
bumi saja layaknya,? Tutur mak
panjang lebar.
Sartini hanya menangis
terisak. Air matanya tak habis-
habisnya.
“Apa yang bisasar
lakukan, mak?” bisik Sartini tak
mengerti.
“Apa saja yang baik kamu
pikirkan, nduk. Biarlah. Sekarang
semua sudah menjadi tanggung
jawab Mak. Paling tidak sampai
Mak menghabiskan umur yang
mungkin tinggal beberap waktu
lagi saja. Tapi sekarang kamu
lakukan sendiri apa yang baik
kamu lakukan, nduk. Jangan
berjalan tanpa pedoman. Kalau
kamu melihat keadaan buruk
begini, kamu jangan sekali pun
menganggapnya rintangan.
Jangan pernah lupa ibadah,” Mak
tak henti-henti mengelus rambut
Sartini.
Sartini juga tak habis-
habis menangis. “Sekarang
Sartini tidak bisa lama, Mak. Sar
mesti kembali ke kota.”
Mak mulai mengisak.
“ Mak tidak
menghalangimu, nduk.
Berangkatlah!”
Sartini mencium tangan
Mak. Lalu ia berhambur kea rah
Kardu. Mak menahannya,
“Jangan lakukan nduk. Nanti
malah ndak baik jadinya,” cegah
Mak.
Sartini lagi-lagi terisak.
Ketika orang-orang
melepaskan kepergian Sartini,
Sartini tak bisa membendung
perasaan harunya. Darsono
sudah menyambut disamping
mobilnya.
“Kok sopirmu tidak diajak
masuk,” bisik Mak.
Sartini hanya tersenyum.
Mak tidak tahu bahwa senyum
itu getir. Tangan Sartini
menyisipkan beberapa lembar
lima puluh ribuan ke tangan Mak.
Mak mau menolak, tapi Sartini
segera bergegas.
Wajah Mak makin tampak
sedih dan haru.
Orang-orang
melambaikan tangan begitu
begitu Sartini masuk mobilnya.
Lalu mereka belum beranjak
sampai mobil bagus itu
menghilang di tikungan.
“Tidak menyangka.
Bertahun-Tahun ditunggu,
hanya akan beberapa menit saja
Sartini dating menjenguk Kardu,
suaminya.” Bisik sepupu Mak,
Kang Jamin.
Mak hanya menunduk,
langkahnya berat.
Di perjalanan Sartini
belum mampu menghapus
dukanya. Darsono sesekali
mencuri wajah Sar lewat kaca
spion.
“Mas, memang kadal!”
bisik Sartini setengah
mengumpat.
Darsono hanya
tersenyum. “Sama suaminya kok
berkata begitu. Dulu ngatain
suaminya keong. Tetapi begitu
keong jadi komoditi eksport,
kamu ganti ngatain dengan
kodok. Begitu kodok jadi
makanan mewah, sekarang
ganti kadal. Kalau nanti kulit
kadal jadi bahan pakain kelas
tinggi, ganti apa lagi, Sar?”
Darsono menggoda.
“Nggak ada. Kadal itu
paling bagus buat mas,” kata
Sartini .
“Tapi kadal yang kamu
piara, kan…….?” Darsono masih
menggoda.
Sartini merajuk. “Mas
memang pintar. Gak bisa
membuat Sar marah! Jelek ah…!”
kata Sartini sembari hendak
memukul bahu Darsono
Laki-laki itu tertawa,
sambil cepat mengelak. Suasana
dalam mobil itu berbalik derajat,
dari 0 ke 180. Rengek Sartini
menimpali tawa suaminya.
Wanita itu seolah sudah begitu
cepat terlepas dari perasaan
kelamnya.
Magelang, 1994
Bonus Cerpen Ultah ke-12
Majalah SARINAH
Rewrited by arsonfalseto